Cerita Fiksi : Move On Part 1
"Alice?", itulah kata pertama yang diucapkan pria itu.
"Sayang, kamu sudah sadar? Terimakasih Tuhan..", ucap mama dari pria ini.
Mama dari pria ini adalah Marie Feehily.
"Mana Alice?", ucap pria tersebut.
"E..", Marie bingung menjawab pertanyaan anak sulungnya sebab sang kekasih anak sulungnya yang bernama Alice telah meninggal dunia setahun yang lalu sesaat setelah kecelakaan bersama anak sulungnya. Nyawa Alice melayang akibat kesalahan anak sulungnya.
"Mam, Alice mana?", tanya pria itu sekali lagi.
"Alice baik-baik saja kok di rumah", Marie terpaksa berbohong kepada anak sulungnya.
"Aku dimana mam?", pria itu melihat sekelilingnya.
"Kamu di rumah sakit, sayang", ucap Marie seraya mengelus-elus rambut anak sulungnya.
"Ha, di rumah sakit? Apa yang terjadi denganku mam?", pria itu terkaget.
Beberapa minggu kemudian.
"Tunggu dulu mam? Ini tanggal berapa?", ucap pria itu.
"16 November, sayang. Memang ada apa?", ucap Marie seraya membenarkan syalnya.
"Ha 16 November? Cepat sekali hari berganti mam, setahun yang lalu aku dan Alice memperingati hari jadi kita. Aku dan Alice pergi ke daerah pantai, saat di dekat pantai ada sebuah truk dengan berkecepatan tinggi menuju ke arah mobil kami, dan tiba-tiba.. Ah kepalaku pusing mam", pria itu memegang erat Marie.
"Ayo sayang, mama antarkan kamu ke kamar. Sabar, sayang", ucap Marie seraya perlahan-lahan mengantarkan anak sulungnya ke kamarnya.
"Aku harus ke rumah Alice sekarang", ucap pria itu seraya membangunkan tubuhnya dari tempat tidur.
Akhirnya pria itu berhasil keluar dari rumahnya.
"Argh.. sakit sekali kakiku!", pria itu menahan rasa sakit.
Beberapa menit kemudian pria tersebut sampai di depan rumah sang kekasih. Pria itu mulai memasuki pekarangan rumah sang kekasih dan pria itu mengetuk pintu rumah keluarga sang kekasih.
Tok tok tok..
"Selamat siang", ucap pria itu seraya mengetuk pintu rumah keluarga sang kekasih.
"Iya tunggu sebentar", suara seorang perempuan terdengar dari dalam rumah keluarga sang kekasih.
Seorang perempuan dewasa, berambut pirang yang direbahkan, bermata hazel, dan bertubuh tinggi membukakan pintu rumah sang kekasih 'Alice'.
"Tante Alicia, selamat siang?", ucap pria itu.
Perempuan itu adalah ibu dari sang kekasih 'Alice' bernama Tante Alicia. Alicia hanya diam saja, beberapa lama kemudian matanya berkaca-kaca dan menampar pria tersebut.
Plak..
"Aw.. tante mengapa menampar aku?", pria tersebut memegang pipinya.
"Kamu ngapain kesini? Kamu pembunuh anakku!", Alicia mendorong pria tersebut hingga jatuh.
"Pembunuh? Gak gak.. gak mungkin", pria itu merasa terkaget.
"Asal kamu tau anakku meninggal gara-gara kamu.. Kamu telah membunuh anakku, kamu yang nyebabkan anakku meninggal setahun yang lalu. Kamu pembunuh!", ucap Alice dengan air mata yang terus membasahi pipinya.
"Tidak mungkin..Alice mana?", pria tersebut masuk ke dalam rumah Alice.
"Cukup! Alice sudah tidak ada di dunia ini! Dia meninggal karena kamu!", Alicia semakin menangis histeris.
"Alice belum meninggal!", pria tersebut menggeleng-gelengkan kepalanya dan berlari menuju kamar Alice. Alicia duduk dan menangis.
Pria tersebut membuka pintu kamar Alice, sesaat setelah pintu kamar dibuka pria itu terkaget melihat adanya banyak karangan bunga di kamar Alice.
"Alice, kamu dimana ini aku sweetheart", ucap pria tersebut yang mulai memasuki kamar Alice. Pria itu semakin terkaget melihat baju ..
yang berlumuran darah yang sudah kering terdapat di ranjang Alice.
"Ini tak mungkin", mata pria tersebut mulai berkaca-kaca.
Pria tersebut kembali ke bawah dengan mata yang berkaca-kaca dengan membawa sebuah boneka teddy bear yang pernah ia beri untuk Alice.
"Ini ada sesuatu dari Alice", Alicia memberikan sebuah kertas dan sebuah cincin yang pria tersebut berikan kepada Alice.
"Apa ini tante?", pria tersebut menerima kertas dan cincin itu.
Pria itu perlahan membuka kertas tersebut. Ternyata kertas tersebut adalah surat terakhir yang Alice tulis untuk pria tersebut.
Aku senang, hari ini adalah anniversary hubungan kita yang ke 6. Yey, kita sudah 6 tahun menjadi sepasang kekasih. Aku tak menyangka sudah bertemu denganmu selama 10 tahun, semenjak kita masih anak-anak. Aku berharap, tak lama lagi kita akan bertunangan, karena orang tuaku sudah merestui hubungan kita. Ah aku senang sekali..
Aku berharap hubungan kita bertahan sampai maut memisahkan kita, sweetheart. Oya aku mau tanya, boleh gak? Jika aku meninggal nanti, apakah kamu masih mengingat aku? Apakah kamu masih mencintai aku? Apakah kamu akan menggantikan posisiku di hatimu? Ah.. aku punya firasat aneh dalam waktu dekat ini, tapi apakah itu? Entah aku tak tau..
Aku berharap semua baik-baik saja..
Aku tak mau berpisah denganmu, sweetheart.
Kamu yang mewarnai hidupku sepanjang hari, kamu yang selalu ada untukku, dan kamu akan tetap selalu di hatiku entah sampai kapan..
Aku sangat mencintaimu Mark..
Dublin, 16 November 1999
Salam sayang,
Alice Queen Wilson
"Alice, maafkan aku.. Aku ingat sekarang, bencana menimpa kita saat itu.. Aku tak dapat menolongmu, maafkan aku.. A.. aku secara tak sengaja telah membunuhmu!", Mark menangis.
Entah berapa lama Mark berada di taman kota. Hari mulai malam, Mark belum juga pulang ke rumah. Tiba-tiba datanglah seorang perempuan dihadapan Mark.
"Mau tisu?", perempuan itu menawarkan tisu kepada Mark.
Mark menoleh ke arah perempuan itu. Perempuan itu berambut coklat, bermata biru cerah, dan membawa buku yang sangat banyak.
"Kamu siapa?", ucap Mark seraya mengambil sebuah tisu yang ditawarkan perempuan itu.
Perempuan itu duduk di samping Mark.
"Aku, Alice Stephanie Byrne. Kamu?", ucap perempuan itu.
"Ha?", ucap Mark terkaget.
"Kenapa?", ucap perempuan itu bingung.
"Ah tidak apa-apa.. nama yang sangat cantik. Namaku Markus Michael Patrick Feehily, panggil aku Mark. Nama panggilan kamu siapa?", ucap Mark.
"Alice", jawab perempuan itu singkat.
"Apa?", Mark semakin terkaget.
Ternyata nama panggilan kekasih Mark dulu dengan nama perempuan yang ditemuinya sama-sama Alice.
"Kamu tak apa?", ucap Alice.
"Aku tak apa..", Mark menundukkan kepalanya.
"Apa kamu yakin, Freedie?", Alice memegang pundak Mark.
"Bagaimana kamu tahu, nama lainku adalah Freedie?", Mark terkaget.
"Apa kamu tak ingat denganku?", ucap Alice.
"Kamu ini sebenarnya siapa?", Mark bertanya-tanya.
"Aku teman dekatmu yang kamu buang begitu saja ketika masih kecil", jawab Alice.
Mark mengingat-ngingat siapa sebetulnya Alice Byrne.
"Kamu membuang aku begitu saja semenjak kamu mengenal perempuan yang bernama Alice Queen Wilson", ucap Alice lebih lanjut.
"Kamu teman masa kecilku?", tanya Mark.
Alice mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kamu adiknya Nicky?", tanya Mark lagi.
"Yap", jawab Alice singkat..
"Mengapa kamu merasa aku membuangmu?", tanya Mark.
"Kamu tidak mau main denganku. Setiap kali aku ke rumahmu untuk mengajak main kamu, mama kamu selalu bilang kalau kamu sedang bermain ke rumah Alice Wilson", ucap Alice.
"Aku tak menyangka, aku sejahat itu terhadapmu dulu", Mark memegang tangan Alice.
"Terlebih saat kamu sudah menjalin hubungan serius dengan Alice Wilson, aku sering menyapamu akan tetapi kamu tidak pernah membalas sapaanku", Alice menyingkirkan tangan Mark dari atas tangannya.
"Ah teganya aku terhadap temanku sendiri, maafkan aku telah berulang kali menyakiti hatimu. Aku sadar sekarang, kamu begitu baik denganku. Aku tak menyangka itu, kamu memang temanku yang paling baik", Mark tiba-tiba memeluk Alice.
"Ah kata-katamu terlalu berlebihan, aku sudah memaafkanmu dari dulu kok", Alice membalas pelukan dari Mark.
"Terimakasih Alice Byrne, maafkan semua kesalahan Alice Wilson terhadapmu ya?", Mark berbisik di telinga Alice.
"Ya aku sudah memaafkannya dari dulu, yang sabar ya Mark. Mungkin Tuhan, menginginkan Alice Wilson kembali kehadapan-Nya, aku tau kamu bukan laki-laki yang lemah", Alice melepaskan pelukannya dari Mark.
"Ya terimakasih kamu telah memberi aku semangat, oya sekarang sudah jam berapa?", ucap Mark.
"Jam 8 malam, kenapa?", tanya Alice.
"Ha? 8 malam? Serius Al?", Mark terkaget.
"Iya aku serius.. memangnya kenapa sih? Kamu tampaknya kaget sekali", ucap Alice.
"Keluargaku pasti nunggu aku di rumah, mereka pasti gelisah", ucap Mark kebingungan.
"Memangnya kamu pergi tidak bilang kepada orang tuamu?", Alice menatap wajah Mark.
Seketika pipi Mark memerah.
"Aku pergi secara diam-diam, bagaimana kalau orang tuaku memarahiku?", Mark tambah gelisah.
"Tenang saja.. aku punya ide", Alice berdiri dan menarik tangan Mark.
"Aw", Mark merasa kesakitan ketika tangannya ditarik Alice.
"Kamu kenapa fred?", ucap Alice bingung.
"Argggh sakit", Mark mengeluh.
"Ya ampun, maafkan aku fred", ucap Alice.
"Tak apa, tolong antarkan aku pulang", Mark memegang tangan Alice dengan erat.
"Dengan senang hati. Ayo pelan-pelan", Alice menuntun Mark berjalan pulang ke rumahnya.
"Alice, ada apa ini?", Mark bingung.
"Aku tak tau Mark", Alice mengeleng-gelengkan kepalanya.
Alice dan Mark melanjutkan perjalanannya. Akhirnya sampai juga mereka di depan pintu rumah kediaman Mark. Ketika Mark hendak mengetuk pintu, tiba-tiba pintu rumah Mark terbuka. Ternyata yang membuka pintu itu adalah mama Mark, Ny. Marie Feehily.
"Mark?", Marie terkaget karena melihat Mark.
"Mam, maafkan aku karena telah membuat semua khawatir", Mark menundukkan kepalanya.
"Ah tak apa nak", Marie mendekati Mark dan memeluknya.
"Apa mam tidak marah denganku?", Mark membalas pelukan Marie.
"Mam hanya khawatir, jangan diulangi lagi ya Nak. Jangan membuat mama panik", Marie melepaskan pelukan.
"Iya mam", Mark menganggukkan kepalanya.
"Ini siapa Mark?", ucap Marie seraya melihat ke arah Alice.
"Ini Alice mam", Mark menjawab pertanyaan Marie.
"Alice?", seketika Marie memandang wajah Alice.
"Ada apa tante?", ucap Alice.
"Kamu Alice siapa?", ucap Marie seraya menunjuk ke arah Alice.
"Aku Al.." tiba-tiba Mark mencubit pinggang Alice, "Aw sakit tau Mark!", Alice mengeluh kesakitan.
"Loh ada apa ini? Apa yang kalian sembunyikan?", mam Marie berkata serius.
"Enggak ada kok mam", Mark tersenyum kepada Marie.
Marie menatap wajah anak kesayangannya dengan tatapan heran.
"Seperti apa kata mam, Alice baik-baik saja", Mark menggandeng tangan Alice.
"Kamu tak bisa membohongi mama sayang, ini bukan Alice Wilson. Alice Wilson kan sudah....", Marie tidak melanjutkan kata-katanya.
"Sudah apa mam?", tanya Mark yang memancing mamanya untuk jujur terhadapnya.
"Sudah pergi ke Perancis, dia sekarang kuliah disana", Marie terpaksa berbohong.
"Bukannya Alice Wilson sudah meninggalkanku untuk pergi ke alam yang berbeda?", Mark menatap serius wajah mamanya.
"Bagaimana kamu tau?", nah akhirnya Marie termakan dengan umpan Mark.
"Nah itu.. Mam bohong kan sama aku, Alice Wilson sudah tidak ada lagi di dunia ini", ucap Mark.
"Maafkan mama sayang, mama tidak mau kamu terpikir terus tentang Alice Wilson. Mama tidak tega", Marie mengelus-elus kepala sang anak tercinta dengan begitu lembut.
Label: Cerita Fiksi